Jayapura (ANTARA) - Kasus kematian tokoh agama, Pendeta Yeremia Zanambani, pada pukul 17.30 WIT 19 September 2020, di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, menjadi catatan khusus selama 2020 karena sampai saat ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk menuntaskan penyelesaian hukumnya secara transparan di masyarakat.
Sejak kasus kematian Zanambani itu terkuak, pemerintah pusat melalui Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, langsung membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Inspektur Jenderal Polisi (Purn) Benny Mamoto.
Gabungan tim pencari fakta beranggotakan para profesional dan akademisi perguruan tinggi sempat mendapat teror penembakan dilakukan kelompol kriminal bersenjata saat hendak melakukan tugas pencarian data di lapangan pada sekitar pukul 15.46 WIT Jumat 9 Oktober 2020.
Bahkan, saat terjadi penembakan mengenai dua orang korban yakni akademisi UGM anggota TGPF, Bambang Purwoko, terkena tembak pada bagian kaki kiri, sementara itu Sersan Satu Faisal Satgas Apter yang mengawal anggota TGPF terkena tembak di badan bagian kiri
Meski mendapat teror penembakan namun anggota TGPF tetap melaksanakan tugas pengumpulan bukti-bukti data di lapangan serta mewawancarai saksi-saksi dan keluarga Zanambani.
Mamoto mengakui penetapan tersangka meninggalnya Pdt. Yeremia Zanambani menunggu hasil otopsi. "Untuk kasus Pendeta Yeremia masih menunggu otopsi karena pemeriksaan saksi sudah dilakukan. Setelah dilakukan otopsi baru tersangkanya diproses hukum," kata dia, kepada ANTARA, Kamis.
Ia mengaku saat ini Polda Papua masih berupaya untuk mendapatkan izin dari keluarga Zanambani untuk melakukan otopsi jasad almarhum.
"Mudah-mudahan pihak keluarga segera memberi ijin agar otopsi dapat segera dilakukan dokter forensik," harap Mamoto menanggapi kelanjutan penanganan kasus kematian Pendeta Yeremia Zanambani akibat ditembak Sabtu, (19/9) di kampung Hipadipa, Kabupaten Intan Jaya.
Rekomendasi Komnas HAM
Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits Ramandey, mengatakan, berdasarkan data, fakta dan informasi yang dipaparkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam pengungkapkan kasus kematian Zanambani memberikan rekomendasi di antaranya, kematian korban diungkap sampai aktor yang paling bertanggungjawab dan membawa kasus tersebut pada peradilan Koneksitas serta proses hukum tersebut dilakukan dengan profesional, akuntabel dan transparan.
Proses hukum dilakukan di Jayapura dan atau tempat yang mudah dijangkau dan aman oleh para saksi-saksi serta keluarga korban, memberikan perlindungan para saksi dan korban oleh Lembaga Penjamin Saksi dan Korban (LPSK).
Serta rekomendasi Komnas HAM lainnya untuk melakukan pendalaman informasi dan keterangan terkait kesaksian Alpius dan seluruh anggota TNI di Koramil Persiapan Hitadipa termasuk struktur komando efektif dalam peristiwa tersebut dan yang melatarbelakangi.
"Mendalami upaya pengalihan dan atau pengaburan fakta-fakta peristiwa," kata Ramandey.
Komnas HAM juga merekomendasikan untuk menciptakan kondisi yang menjamin rasa aman seluruh masyarakat Hitadipa melalui tidak menggunakan pendekatan keamanan dan membenahi tata kelola keamanan.
Menghormati hukum HAM dan hukum humaniter dengan memastikan rasa aman bagi masyarakat sipil secara keseluruhan dengan tidak mengembangkan rasa takut, stigmatisasi dan menjadikan masyarakat sipil dalam instrumen kekerasan bersenjata.
Penguatan fungsi kepolisian dalam penegakan hukum di polsek-polsek yang ada di Intan Jaya sefrta penegakkan hukum yang kredibel,akuntabel dan transparan.
Komnas HAM juga merekomendasikan untuk menghidupkan SD-SMP YPPG untuk kegiatan belajar mengajar yang saat ini digunakan sebagai Pos Koramil Persiapan Hitadipa.
Mendorong dan mempercepat kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan umum dan publik oleh pemerintah daerah Kabupaten Intan Jaya.
"Komnas HAM menemukan sejumlah fakta terkait kematian Pendeta Yeremia Zanambani di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya Papua 19 September 2020 beberapa fakta hasil investigasi korban alami penyiksaan dan sempat berkomunikasi dengan keluarga sebelum tewas," bunyi rekomendasi Komnas HAM.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan peristiwa kematian Zanambani di Kabupaten Intan Jaya, Papua tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari rentetan peristiwa lain yang terjadi sebelumnya.
"Terkait dengan peristiwa kematian Pendeta Yeremia, Komnas HAM menemukan fakta bahwa peristiwa tersebut tidak berdiri sendiri," ujar anggota Komnas HAM, Choirul Anam, dalam konferensi pers daring.
Sebanyak 18 kasus yang terjadi di Intan Jaya dikatakannya melengkapi kasus kematian Pendeta Yeremia dilihat dari lokasi kejadian yang sama serta adanya persoalan serius dalam waktu cukup pendek.
Dari tinjauan ke lokasi, olah tempat kejadian perkara dan permintaan keterangan saksi-saksi dan para pihak, Komnas HAM mendapatkan berbagai keterangan, bukti dan informasi pendukung semakin terangnya peristiwa itu.
Ia menuturkan bukti yang didapat antara lain berupa lubang peluru berbagai ukuran yang ada di lokasi penembakan.
"Komnas HAM akan mengelola seluruh data yang ada untuk menyusun kesimpulan temuan Komnas HAM yang lebih solid. Langkah itu juga akan diuji dengan keterangan ahli," ucap dia.
Selain kasus kematian Zanambani terdapat juga serangkaian kasus penembakan terjadi selama 2020 yang menewaskan anggota TNI-Polri serta warga sipil lainnya.
Kinerja hasil TGPF bentukan pemerintah diharapkan segera mengumumkan keterlibatan siapapun dalam penyebab kematian Zanambani secara terbuka, akuntabel dan profesional guna mendukung penuntasan kasusnya serta menyeret dan pelakunya ke pengadilan koneksitas.
Akankah berakhirnya sejumlah kasus kekerasan di tanah Papua dan menghentikan adanya korban dari warga sipil dan aparat TNI-Polri maka diperlukan kebijakan dan solusi yang tepat dalam menangani berbagai persoalan pembangunan yang muncul di tanah Papua.
Harapan berbagai elemen masyarakat pada 2021 kebijakan terhadap pembangunan di tanah Papua lebih mengedepankan pendekatan kesejahteraan dan budaya tidak dengan pendekatan keamanan yang mengarah kepada tindakan represif aparat TNI-Polri.