Biak (ANTARA) - Cuaca terik matahari panas terasa menyengat tubuh di Kamis siang (12/6) pukul 12.10 WIT tetap saja 1.500 masyarakat Kelurahan Yenures Distrik Biak Kota,Papua berlarian di pinggir laut pantai Sapomi setelah waktu Sasisen (Sasi) atau pelarangan menangkap ikan mulai dibuka melalui Festival Anak Papua Sejati 2025.
Ajang Festival Apus dengan kegiatan bernuansa budaya khas Biak pembukaan Sasisen atau pelarangan mengambil sumber alam laut selama tiga bulan (Maret-Juni 2025) dilakukan pemuka adat serta menangkap ikan cara tradisional di laut surut (snap mor) menggunakan tombak kayu bermata alat tajam (kalaway).
Yosafat, salah seorang warga Biak bersama istri dan anak perempuan ikutan berlari ke area pinggiran pantai Sapomi sambil memegang tombak kayu Kalaway ikutan berburu ikan setelah waktu Sasisen sudah dibuka oleh pemuka adat.
Yos-sapaan pria berprofesi sebagai nelayan mengakui, masa berakhirnya Sasisen atau pelarangan mengambil membawa kekayaan laut di sekitar lokasi laut sangat dinantikan warga setelah tiga bulan dilarang diambil.
Sasisen merupakan budaya asli daerah merupakan bentuk peraturan adat yang dibuat secara turun temurun dilakukan leluhur nenek moyang suku Biak.
Sasisen, tak hanya menekankan kelestarian alam, tradisi ini juga mengandung nilai kebersamaan masyarakat dan keadilan.
Selain menjaga keberlanjutan sumber daya alam, tujuan diberlakukan Sasisen adalah agar masyarakat dapat menikmati hasil kekayaan laut secara adil dan merata.
Yos mengaku, sangat bangga dengan masyarakat adat Biak karena tetap mempertahankan budaya Sasisen untuk menjaga dan melindungi pelestarian alam lingkungan laut.
Warga Biak lainnya Elly Rumbiak mengatakan, Sasisen bagi masyarakat adat Biak sebagai cara mengelola dan memanfaatkan alam sekitarnya dengan kearifan dan bijak karena itulah yang diajarkan leluhurnya.
Melalui tradisi Sasisen diharapkan, dapat menjadikan masyarakat adat Biak senantiasa turut merawat alam untuk kehidupan keluarga hari ini hingga nanti masa depan anak cucu.
Meskipun kemajuan teknologi di era digital terus berkembang tetapi terus mendorong masyarakat adat Biak untuk terus mempertahankan budaya Sasiren yang telah diwariskan nenek moyang tetap terjaga keasliannya.
Sasisen budaya leluhur suku Biak sudah berlangsung seratusan tahun silam bahkan sebelum peradaban Injil masuk ke Papua 5 Februari Tahun 1855 di Pulau Mansinam, Kabupaten Manokwari, Papua Barat budaya Sasisen sudah dilakukan warga pesisir pantai di pulau Biak.
Konsekuensi bagi warga Biak yang melanggar aturan Sasisen yang telah dilakukan pemuka adat maka sanksi diterima sangat beragam ketika warga adat melanggar.
Sanksi itu dapat diterima seseorang melanggar Sasisen seperti munculnya kejadian bencana alam, dipatok binatang buas di laut hingga pribadi bersangkutan mendapat musibah karena pelanggaran dibuatnya terhadap pelarangan adat setempat.
Ketika satu kawasan perairan laut,hutan atau tempat khusus telah dilakukan pelarangan Sasisen dari pemuka adat setempat maka setiap orang berasal dari manapun harus taat melaksanakan aturan dan tidak melakukan aktivitas di area sekitar.
Sasisen menjadi bukti nyata akan kekayaan dan kearifan masyarakat lokal suku Biak untuk menjaga pelestarian alam sekitarnya dengan ramah lingkungan.
Bahkan, dengan melakukan Sasisen kekayaan alam yang dilindungi dan dilarang diambil pada kurun waktu tertentu dapat melimpah hasilnya dan dimanfaatkan untuk kebutuhan keseharian keluarga.
Warisan budaya
Tokoh adat Biak Daniel Yarangga mengakui tradisi pelarangan dan pembukaan Sasisen kekayaan alam laut dan dilanjutkan mencari ikan bersama di air laut surut (snap mor) merupakan atraksi budaya tradisional suku Biak yang sudah dilakukan leluhur orang tua suku Biak secara turun temurun.
Filosofi Sasisen di kalangan suku Biak merupakan tradisi leluhur yang mengajarkan upaya masyarakat adat untuk menjaga kelestarian alam, baik di darat maupun di laut.
Bagi masyarakat suku Biak Sasisen merupakan ritual adat rutin untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut dan menjaga ketahanan pangan.
Yarangga menyebutkan, Sasisen mengajarkan nilai-nilai masyarakat untuk menyatu dengan alam, sekaligus membiarkan biota laut yang dilindungi untuk berkembang biak secara alami sebelum siap ditangkap.
Dengan tradisi Sasisen yang ditetapkan pada waktu tertentu terhadap kekayaan alam seperti sumber daya laut akan dapat meningkatkan hasil panen yang melimpah untuk kebutuhan keluarga.
Sasisen laut ini juga merupakan bentuk dari konservasi tradisional menjadi satu kearifan lokal masyarakat adat suku Biak dalam menjaga serta mengelola kekayaan alam laut.
Pelaksanan tradisi Sasisen, untuk memastikan pengelolaan perikanan hasil laut bisa berkelanjutan hingga bisa dinikmati generasi ke depan.
Melalui Sasisen alam laut juga untuk pembiakan ikan, biota laut, teripang, udang dan termasuk jenis moluska lainnya.
Kegiatan adat Sasisen bernilai magis ketika peraturan dilanggar maka pasti ada korban atau ada musibah kepada orang yang melanggar.
Budaya Sasisen juga memberikan pelajaran untuk masyarakat adat Biak supaya bersabar, setia dan jujur hidup bermasyarakat serta taat memegang perjanjian adat.
Destinasi wisata
Pemerintah Kabupaten Biak Numfor melalui Dinas Pariwisata menjadikan tradisi tradisi Sasisen dan Snap Mor sebagai destinasi wisata alam budaya masyarakat adat suku Biak melalui ajang tetap pariwisata Festival Biak Menara Wampasi yang berlangsung setiap bulan Juli setiap tahun.
Bupati Biak Numfor Markus Oktovianus Mansnembra mengakui, Sasisen hingga Snap Mor merupakan bagian kekayaan budaya turun temurun dari orang tua masyarakat adat suku Biak yang hingga sekarang masih dilestarikan masyarakat adat.
Atraksi budaya Sasisen dan Snap Mor yang masih hidup melekat sebagai tradisi budaya suku Biak dapat dijaga keasliannya karena akan menjadi daya tarik wisatawan yang berkunjung ke daerah.
Budaya Sasisen maupun Snap Mor suku Biak memiliki keunikan dan keaslian yang pernah dilakukan nenek moyang suku Biak hingga seratusan tahun silam dan masih eksis hingga saat ini.
Bupati Markus mendukung setiap pelestarian budaya adat Biak termasuk Sasisen bagian dari kecintaan dan ketaatan generasi muda anak Biak dalam mempertahankan budaya adat suku Biak.
Keanekaragaman budaya suku Biak yang masih terpelihara keasliannya hingga sekarang menjadi salah satu daya tarik kunjungan wisatawan untuk datang ke pulau Biak.
Sektor pariwisata, merupakan satu potensi unggulan alam dimiliki Biak sehingga senantiasa menjadi perhatian pemerintah untuk melestarikan dan mempertahankan berbeda tradisi masyarakat suku Biak sebagai daya tarik wisata.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Papua Yimin Weya mengakui, Pulau Biak memiliki berbagai potensi sumber daya alam laut dan keindahan seni budaya daerah menjadi daya tarik wisatawan ke Biak.
Di antara keunikan dan keindahan budaya suku Biak adalah Sasisen dan Snap Mor yang dilestarikan masyarakat suku Biak dengan tujuan untuk terus menjaga keasliannya merupakan potensial menjadi daya tarik kunjungan wisatawan ke Pulau Biak.
Weya mengatakan, apalagi di tahun 2026 Kabupaten Biak Numfor telah ditetapkan menjadi wilayah pengembangan pariwisata Provinsi Papua sehingga berbagai potensi wisata bahari dan seni budaya khas dimiliki suku Biak tetap menjadi daya tarik turis untuk berkunjung ke Biak.
Salah satu budaya Biak Sasisen merupakan contoh kearifan lokal masyarakat adat Biak yang terus dilestarikan dan membuktikan bahwa kebudayaan dapat berjalan seiring dengan perkembangan zaman di tengah arus perubahan.
Kearifan dan keramahan menjaga lingkungan kekayaan alamnya dengan budaya Sasisen dilakukan suku Biak merupakan wujud nyata kecintaan dan ketaatan masyarakat adat Biak mempertahankan tradisi budaya khas daerah sebagai bagian dari kekayaan budaya Nusantara di Negara Kesatuan Republik Indonesia.