Agats (Antaranews Papua) - Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Agats, di Kabupaten Asmat, Porvinsi Papua, menghendaki penambahan dokter spesialis, terutama spesialis anak untuk menangani pasien gizi buruk setelah kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk di Asmat.
"Kami belum diberikan dokter spesialis anak. Rumah Sakit Klas D paling tidak ada empat dokter spesialis dasar," kata Direktur RSUD Agats Riechard Mirino di Agats, Rabu.
Riechard menjelaskan kini RSUD Agats baru memiliki dua dokter spesialis, yakni spesialis penyakit dalam dan spesialis bedah.
"Sementara Obgyn (obstetri dan ginekologi/kebidanan dan kandungan) masih kami tunggu," kata dia.
Riechard mengatakan dokter spesialis tersebut merupakan program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) dari Kementerian Kesehatan.
WKDS merupakan program pengiriman dokter spesialis ke daerah-daerah terpencil yang membutuhkan berdasarkan permintaan pemerintah daerah.
"Spesialis anak ini yang kami mohon dari Kemenkes, karena banyak yang gizi buruk bayi dan balita perlu penanganan dokter spesialis anak," kata dia.
Hingga kini RSUD Agats masih merawat 11 pasien gizi buruk dan satu pasien campak setelah KLB campak dan gizi buruk dicabut oleh pemerintah daerah.
Pasien tersebut masih dalam tahap pemulihan sebelum dipulangkan ke kampung masing-masing.
Kini, dokter spesialis anak yang ada di Agats merupakan tim kesehatan yang dikirim dari Jakarta, berasal dari tim Kementerian Kesehatan maupun TNI/Polri.
Riechard menambahkan permasalahan anak dengan gizi buruk di Asmat bermula pada kondisi kesehatan ibu yang tidak baik saat sebelum melahirkan.
Dia menjelaskan hampir semua ibu hamil memiliki kadar hemoglobin dalam darah yang rendah atau jauh di bawah kadar normal bagi wanita sebesar 12-14 gr/dL.
Riechard mengkategorikan hampir seluruh ibu hamil yang akan melahirkan dalam keadaan gizi sangat buruk.
"Kadang bisa empat dan lima HB-nya, sehingga melahirkan dengan pendarahan yang banyak," kata dia.
Selain itu, kebanyakan keluarga di Asmat memiliki banyak anak dan dengan jarak kelahiran yang dekat. Alhasil tidak seluruh anak mendapatkan ASI secara eksklusif selama dua tahun. (*)