Timika (Antaranews Papua) - Praktisi hukum dan HAM Lokataru Haris Azar, Nurkholis Hidayat dan Raden Yayan mengapresiasi putusan bebas yang dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Timika terhadap empat karyawan mogok kerja PT Freeport Indonesia dan perusahaan subkontraktornya pada persidangan pada Kamis (28/6).
Dihubungi dari Timika, Sabtu, Haris Azhar mengatakan majelis hakim PN Timika yang terdiri atas Syaiful Anam, Fransiscus Y Babthista dan Steven Christian Walukow dalam putusannya pada Kamis (28/6) membebaskan terdakwa Arnon Merino, Deni Purba, Stefen Yawan dan John Yawang dari tuduhan melakukan penghasutan, pengrusakan dan pembakaran aset PT Freeport saat unjuk rasa anarkis pada 19 Agustus 2017.
Sementara dalam perkara terpisah, empat rekan mereka atas nama Patriot Wona, Labai, George Agustinus Suebu dan Lukman divonis bersalah dengan hukuman penjara selama tujuh bulan (langsung bebas setelah menjalani masa penahanan selama tujuh bulan).
"Putusan bebas bagi empat pekerja ini menunjukan bahwa hakim pada Pengadilan Negeri Timika masih bisa diharapkan untuk para pencari keadilan di tengah kekhawatiran para pekerja Freeport akan tidak independennya posisi para hakim ketika berhadapan dengan pengaruh PT Freeport. Tapi kami juga menyesalkan adanya putusan bersalah terhadap rekan-rekan mereka yang lain," kata Raden Yayan.
Ia mengatakan meskipun putusan terhadap terdakwa Patriot Wona dan tiga rekannya tidak terlalu menggembirakan, namun hal itu dipandang memberi angin segar bagi ribuan pekerja mogok kerja (moker) PT Freeport setelah mengalami penderitaan panjang akibat tindakan semena-mena pihak perusahaan.
"Hak-hak pekerja untuk melakukan mogok tidak diakui, begitu juga hak-hak normatif lainnya yang seharusnya diterima oleh pekerja dirampas secara sepihak oleh perusahaan," kata Raden.
Sementara itu Haris Azhar menggaris-bawahi pentingnya penindakan kepada para penyidik yang telah melakukan praktik penyiksaan kepada para karyawan moker Freeport selama ditahan serta memaksakan perkara ini disidangkan meskipun tidak cukup bukti.
Unjuk rasa yang berakhir anarkis dilakukan oleh ribuan karyawan moker PT Freeport dan perusahaan subkontraktornya bertempat di Check Point 28 samping Bandara Mozes Kilangin Timika pada 19 Agustus 2017 guna menuntut keadilan akibat tindakan Pemutusan Hubungan Kerja/PHK secara sepihak oleh perusahaan tempat mereka bekerja.
Setelah merebut paksa Check Point 28, ribuan pekerja moker Freeport saat itu membakar sejumlah truk trailer pengangkut logistik, alat berat, kendaraan roda empat, roda dua dan fasilitas Terminal Bus Gorong-gorong hingga perusakan fasilitas Kantor PT Petrosea di Jalan Cenderawasih Timika.
Sebelumnya, sekitar 8.000 karyawan PT Freeport melakukan mogok kerja sejak hari buruh 1 Mei 2017 lantaran perusahaan tempat mereka bekerja menerapkan sanksi furloug (dirumahkan hingga batas waktu tidak tentu) kepada ratusan karyawan.
Keputusan manajemen PT Freeport mem-furloug-kan ratusan pekerjanya ditempuh setelah Pemerintah Indonesia tidak memberikan izin perpanjangan ekspor konsentrat pada pertengahan Januari 2017. Namun pada pertengahan April 2017, Pemerintah Indonesia kembali memberikan izin ekspor konsentrat kepada PT Freeport setelah perusahaan itu berkomitmen untuk segera merampungkan pembangunan industri pemurnian tembaga, emas dan perak (smelter) di dalam negeri.
Hingga kini nasib ribuan karyawan moker PT Freeport dan perusahaan subkontraktornya masih terkatung-katung. Banyak diantara mereka bahkan mengalami peristiwa miris lantaran harus mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri.
Tidak sedikit pula diantara mereka harus terusir dari rumah kontrakan, mengalami kehancuran rumah tangga setelah perusahaan menghentikan seluruh pembiayaan beasiswa kepada putra-putri mereka dan menghentikan pembiayaan kesehatan melalui BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.