Mengapa kerja KPK selama enam bulan dinilai layak dapat rapor merah?
Jakarta (ANTARA) -
Berdekatan dengan momen pembagian rapor kenaikan kelas para pelajar di sejumlah sekolah, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) juga memberikan rapor kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk kinerja Desember 2019 hingga Mei 2020.
Namun kali ini bukan rapor ketuntasan belajar yang diberikan, namun "rapor merah" yang disampaikan ICW dan TII kepada lembaga penegak hukum yang diketuai Firli Bahuri ini.
Apa sebabnya?
Dalam diskusi virtual berjudul "Seminar Nasional Peluncuran Hasil Pemantauan Kinerja KPK Semester I (Desember 2019-Juni 2020) pada Kamis (25/6), dua orang peneliti, yaitu Kurnia Ramadhana mewakili ICW dan Alvin Nicola dari TII mengungkapkan analisis yang meliputi tiga bagian besar di KPK, yaitu kinerja sektor penindakan, kinerja sektor pencegahan, kinerja internal organisasi dengan total 22 masalah.
Menurut Kurnia, saat ini KPK memasuki masa yang paling suram yang dimulai dari proses pemilihan KPK yang sarat kepentingan politik hingga revisi UU KPK, sehingga proses tata kelola organisasi pun bermasalah dan berdampak pada kinerja sektor penindakan dan pencegahan KPK.
Sektor penindakan
Masalah pertama yang diangkat adalah merosotnya jumlah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK, yaitu hanya dua kali OTT dalam kasus dugaan suap pergantian antar waktu anggota DPR RI dan dugaan suap proyek infrastruktur di Sidoarjo.
Kurnia membandingkan pada 2016, dimana enam bulan pertama dari 1 Januari sampai 15 Juni 2016 ada 8 tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK, pada 2017 ada lima tangkap tangan, pada 2018 ada 13 ini yang paling tinggi, pada 2019 ada tujuh OTT.
Dari dua OTT dan perkara kasus dugaan korupsi lain yang ditangani KPK periode ini, ICW menyebut justru memicu masalah kedua, yakni menghasilkan banyak lima orang buron: kader PDIP Harun Masiku, mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiono, tersangka dugaan suap dan gratifikasi terkait penangan perkaraa Hiendra Soenjoto serta tersangka suap pernjanjian Karya Samin Tan.
Dua orang, yaitu Nurhadi dan Rezky berhasil ditangkap namun tiga orang lain masih buron. Artinya hal itu menambah jumlah tersangka yang masih buron di KPK, yaitu Sjamsul Nursalim, Itjih Nursalim dan Izil Azhar.
Persoalan ketiga, KPK selama 6 bulan dianggap tidak pernah menyentuh perkara-perkara besar yang selama ini menjadi tunggakan. Menurut catatan ICW ada 16 tunggakan perkara besar dengan dugaan kerugian negara triliunan rupiah.
Masalah keempat, pada pekan ketiga Mei 2020, KPK dikabarkan melakukan OTT di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tapi KPK malah melimpahkan perkara tersebut ke Polri karena tidak ditemukan unsur penyelenggara negara padahal sejak awal KPK menyebut rektor Universitas Negeri Jakarta terlibat.
Persoalan kelima, sengkarut penanganan perkara dugaan suap pergantian antar waktu anggota DPR yang melibatkan mantan komisioner KPU Wahyu Setaiwan dan kader PDIP Harun Masiku yang dinilai terkait kepentingan politik karena KPK gagal meringkus Harun dan tidak menggeledah kantor DPP PDIP.
Pesoalan keenam, KPK dinilai abai dalam perlindungan saksi dalam kasus dugaan penerimaan suap di lingkungan Kemenpora. Pasca bersaksi di sidang mengenai pemberian uang ke oknum BPK dan Kejaksaan Agung, mantan asisten pribadi Menpora Imam Nahrawi, Miftahul Ulum malah dipanggil Kejaksaan Agung untuk perkara serupa.
Sektor pencegahan
Dengan lemahnya kerja sektor penindakan KPK, berdampak pula menurunnya antisiasme terhadap gerakan antikorupsi dan minimnya tingkat kepatuhan sesama penegak hukum, kementerian, lembaga dan pemerintah daerah terhadap rekomendasi KPK.
Masalah ketujuh adalah program koordinasi dan supervisi dengan aparat penegak hukum serta pemerintah daerah tidak optimal melalui sistem Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) "online".
Namun, kata Kurnia, pertukaran informasi SPDP ini kerap kali sulit dipantau. Hingga saat ini, portal statistik SPDP Polri dan Kejaksaan Agung di laman KPK merupakan sumber utama bagi publik untuk mengakses informasi terkait SPDP perkara tindak pidana korupsi.
Sayangnya informasi aktual terkait informasi pertukaran SPDP tersebut berhenti diperbaharui pada bulan September tahun 2019, ungkapnya.
Pemerintah daerah yang memiliki porsi program pencegahan korupsi yang cukup banyak juga belum efektif. Minimnya efektivitas implementasi dapat dilihat dari rendahnya tingkat pencapaian Rencana Aksi Koordinasi Supervisi Pencegahan (Renaksi Korsupgah) Nasional hanya sebesar 69 persen pada 8 area intervensi
di 542 entitas pemerintah daerah.
Masalah kedelapan, minimnya strategi baru dalam pencegahan kerugian negara. Pimpinan KPK jilid V ini menggunakan strategi yang langsung berfokus untuk mengejar kenaikan pendapatan asli daerah (PAD).
Padahal alih-alih mengejar kenaikan, saat ini Pemerintah Daerah belum mampu memastikan arus setoran pajak daerah berjalan lancar. Salah satunya dapat dilihat dari buruknya tata kelola dan ketersediaan basis data pajak daerah, serta penagihan aktif atas piutang pajak daerah. Pun perbaikan tata kelola manajemen aset pemerintah daerah juga belum maksimal yaitu 69 persen.
"Kami melihat ada dua hal penting dua hal terkait pemulihan aset daerah dan minimnya penggunaan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagai upaya pengembalian kerugaian keuangan negara. Kami apresiasi sudah sebesar Rp63,9 triliun dalam program pencegahan korupsi yang dilakukan pimpinan KPK sebelumnya. Sayangnya, belum ada peta jalan spesifik optimalisasi hal ini," kata peneliti TII Alvin Nicola
Persoalan kesembilan9, program pencegahan korupsi di sektor strategis stagnan karena tidak tampak jelas peta jalan KPK di sektor bisnis, politik, hukum dan pelayanan publik.
Menurut Alvin, seharusnya korupsi sektor politik menjadi prioritas karena ini merupakan akar korupsi. Banyak studi dan riset mengindikasikan pentingnya untuk masuk ke sektor ini, apabila tidak berani dan tidak merumuskan strategi apapun di sektor politik, pencegahan korupsi dalam strategi apapun mungkin akan menemui jalan buntu.
Pesoalan ke-10, strategi nasional pencegahan korupsi (Stranas PK) belum efektif, tindakan Stranas-PK cenderung teknis dan birokratis sehingga proses keterlibatan publik itu minim.
Stranas PK itu menurut Alvin cenderung menghindari persoalan sulit misalnya korupsi sektor politik. Sebetulnya KPK sudah panduan integritas parpol namun seperrtinya upaya sosialisasi dan pemantauannya belum berjalan optimal.
Kinerja internal
Masalah selanjutnya adalah terkait dengan sejumlah kinerja internal organisasi yaitu persoalan ke-11 terkait pengembalian paksa penyidik ke instansi asal.
Penyidik Rossa Purbo Bekti dikembalikan ke instansi Kepolisian pada Januari, padahal saat itu Rossa sedang menangani perkara Wahyu Setiawan dan Harun Masiku.
Publik menduga bahwa pengembalian Rossa ini tak bisa dilepaskan dari kejadian di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian saat ia sedang mencari Harun Masiku dan oknum yang berasal dari partai politik.
Persoalan ke-12, sesat pikir publikasi penghentian penyelidikan. Pada pekan ketiga Januari 2020, KPK mempublikasikan penghentian 36 kasus korupsi di tingkat penyelidikan yang menunjukkan penindakan KPK semakin tumpul.
Persoalan ke-13, tertutupnya akses informasi kepada publik, yaitu penutupan informasi soal dugaan penyekapan tim KPK saat mencari keberadaan Harun Masiku dan oknum partai politik di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Persoalan ke-14, upaya intervensi pemanggilan saksi karena pada akhir Januari 2020 pimpinan KPK menyoroti siapa saja yang dipanggil sebagai saksi, daftar pernyataan penyidik, waktu pemeriksaan, sampai pada sanksi sosial yang diterima oleh saksi ketika memenuhi panggilan lembaga anti rasuah ini.
Masalah ke-15, pimpinan KPK dianggap kental dengan gimik politik.
"Sejak Firli Bahuri dilantik sebagai Ketua KPK acap kali tindakan yang bersangkutan tidak lagi terlihat sebagai pimpinan lembaga penegak hukum, akan tetapi justru mengarah seperti layaknya politisi. Misalnya, saat KPK sedang disorot tajam oleh masyarakat karena ketidakmampuan meringkus buronan, yang justru dilakukan oleh Firli Bahuri malah mengundang media untuk menunjukkan kemahirannya memasak nasi goreng," kata Kurnia.
Intensitas pertemuan antara Pimpinan KPK dengan sejumlah pejabat publik. ICW mencatat sejak Januari hingga Februari tahu ini para Pimpinan KPK diketahui telah mengunjungi 17 kantor instansi negara, 3 diantaranya bertemu dengan anggota DPR RI. Kondisi ini semakin menggambarkan nilai independensi KPK yang semakin luntur.
Masalah ke-16, pemberian perlakuan khusus kepada tersangka mantan Sekretaris MA Nurhadi, dimana pimpinan KPK Nurul Ghufron mempercepat waktu keberadaan Nurhadi dalam konferensi pers dengan alasan akan dilakukan pemeriksaan lanjutan. Padahal Nurhadi justru masih berada di ruangan yang sama dan tidak ada pemeriksaan lanjutan.
Masalah ke-17, kebijakan memperlihatkan tersangka saat menggelar konferensi pers. Menurut Kurnia, dalih pimpinan KPK adalah agar para pelaku korupsi dapat merasakan efek jera. Namun, kebiasaan itu tidak lazim terjadi di lembaga anti rasuah itu. Bahkan, KPK seperti hanya ingin meniru lembaga penegak hukum lain, seperti kepolisian dan kejaksaan.
Masalah ke-18, tertutupnya seleksi internal pejabat KPK dan tidak membuka ruang partisipasi masyarakat terhadap seleksi jabatan yang sedang dilakukan serta tidak mengedepankan aspek integritas.
Masalah ke-19, tafsir keliru peradilan in absentia oleh pimpinan KPK Nurul Ghufron yang mengusulkan penyelesaikan kasus Harun Masiku dilakukan dengan cara "in absentia" padahal hal itu hanya dimungkinkan ketika terkait langsung dengan kerugian negara padahal perkara yang menjerat Harun adalah tindak pidana suap.
Masalah ke-20, pimpinan KPK absen dalam merespon isu konflik kepentingan di tubuh pemerintahan yaitu terkait kerja staf khusus milenial Presiden Jokowi.
Masalah ke-21, transisi status kepegawaian KPK yang menajdi Aparatur Sipil Negara (ASN) berjalan di tempat.
"Koalisi masyarakat sipil sejak awal meragukan independensi pegawai KPK dapat terjaga bila status para pegawai KPK beralih menjadi ASN. Pasalnya, dengan status ASN dapat membuat pegawai dipindahtugaskan ke instansi lain. Hal ini berimplikasi pada potensi mandeknya proses penegakan hukum di KPK," ungkap Alvin.
Padahal jika dilihat dari situasi Komisi Antikorupsi di berbagai negara, ada tren positif untuk memberikan jaminan independensi kepada pegawai komisi antikorupsi tersebut. Contohnya Selandia Baru, Denmark, Finlandia, Swiss, Swedia, Singapura, Norwegia, Belanda, Luxembourg dan Jerman yaitu 10 negara teratas dalam Indeks Persepsi Korupsi (2019) mempunyai sebuah badan antikorupsi yang independen.
Masalah ke-22, tidak terpenuhinya ekspektasi publik terhadap kinerja Dewan Pengawas.
Sampai saat ini, Dewan Pengawas dianggap tidak melakukan pergerakan sama sekali.
"TII dan ICW hingga saat ini tetap memandang bahwa kehadiran organ Dewan Pengawas di dalam KPK kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Dibentuknya Dewan Pengawas tetap dipandang sebagai menjadi alat kontrol Presiden terhadap KPK," kata Alvin.
Kewenangan yang dimiliki Dewan Pengawas rawan untuk dipersoalkan di masa mendatang. Hal ini menyoal Pasal 37B ayat (1) huruf b UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang revisi UU KPK yang menyebutkan bahwa salah satu tugas dari Dewan Pengawas adalah memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan atau penyitaan.
Ketentuan itu dinilai keliru, sebab, Dewan Pengawas sendiri tidak dikenal dalam sistem peradilan pidana sehingga tidak memungkinkan memiliki otoritas untuk memberikan atau tidak memberikan izin tindakan pro justicia. Lembaga yang berwenang atas kewenangan tersebut hanya pengadilan.
ICW dan TII pun merekomendasikan KPK untuk membenahi 22 masalah tersebut. Di sektor penindakan adalah dengan memastikan adanya objektivitas dan independen saat mengusut sebuah perkara.
Di sektor pencegahan pun perlu dipikirkan ulang serta juga mereformulasikan strategi pencegahan yang selama ini ada di KPK. Sedangkan pada bagian tata kelola organisasi, sebaiknya pimpinan KPK untuk meminimalisir gimik politis dan mengedepankan nilai transparansi dan akuntabilitas dalam mengeluarkan sebuah kebijakan.
Tanggapan KPK
Atas lontaran rapor merah itu, KPK mengaku terbuka untuk mengundang TII dan ICW untuk membahas kinerja KPK.
"KPK menghargai inisiatif masyarakat untuk mengawasi kinerja kami, tentu nanti kami akan pelajari kajian tersebut. Kapan perlu jika dibutuhkan TII dan ICW kami undang untuk paparan di KPK," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri.
Ali Fikri pun menyampaikan sejumlah data tentang kinerja KPK di semester I Tahun 2020.
Pertama, di bidang penindakan setidaknya ada 30 surat perintah penyidikan dengan total 36 tersangka.
Penyidikan-penyidikan itu untuk kasus dalam kasus (1) OTT KPU, (2) OTT Siduarjo, (3) pengembangan suap ke Anggota DPRD Sumut, (4) pengembangan suap ke Anggota DPRD Muara Enim, (5) pengembangan kasus proyek pengadaan jalan di Bengkalis dan (6) kasus dugaan TPK di PT Dirgantara Indonesia (DI).
Selanjutnya masih ada juga sejumlah kasus dengan kerugian keuangan negara ratusan miliar yaitu kasus dugaan korupsi di Bengkalis dengan nilai proyek Rp2,5 triliun dengan dugaan kerugian keuangan negara Rp475 miliar dan kasus dugaan korupsi PT DI dengan dugaan kerugian negara sebesar Rp205,3 miliar dan 8,65 juta dolar AS.
Kedeputian penindakan KPK juga sudah melakukan penangkapan dan penahanan terhadap 2 orang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) kasus suap dan gratifikasi di MA, yaitu Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono serta 2 orang tersangka dalam kasus suap proyek di Muara Enim yaitu Ketua DPRD Muara Enim, Aries HB dan Pelaksana Tugas Kepala Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim, Ramlan Suryadi.
Selama semester I ini juga telah dilakukan penahanan terhadap 27 orang tersangka. Total jumlah pemulihan aset yang disetor ke kas negara dari denda, uang pengganti dan rampasan adalah Rp63.068.521.381
Selanjutnya di bidang pencegahan, KPK sudah melakukan pencegahan Korupsi di sektor strategis yaitu pertama, pemantauan dana Covid-19.
"Kami sudah berkoordinasi dengan Gugus Tugas Pusat dan Daerah, serta pemangku kepentingan lainnya seperti LKPP, BPKP, Kemendagri, Kemenkes, Kemensos, Pemerintah Daerah dan lainnya," kata Ali.
KPK juga telah melakukan analisis dan memberikan rekomendasi terkait permasalahan sistemik yang dihadapi terkait pengadaan barang dan jasa COVID-19 dan melakukan analisis terkait realokasikegiatan yang dilakukan K/L dan pemda serta memberikan rekomendasi perbaikan.
Kegiatan lain adalah melakukan kajian-kajian sistem terkait Covid-19 seperti kajian Kartu Prakerja.
KPK menerbitkan Surat Edaran sebagai panduan terkait penggunaan anggaran PBJ dalam penanganan Covid-19, penyaluran mansos, dan pengelolaan bantuan/hibah dari masyarakat sertaenyediakan kanal pengaduan bansos (Jaga Bansos).
Program pencegahan lain adalah koordinasi supervisi pencegahan terintegrasi yang bekerja sama kepada Kejaksaan RI, kementerian dan lembaga serta BUMN di pusat.
Ditambah lagi KPK KPK terus mendorong kepatuhan LHKPN hingga 92,81 persen (per 1 Mei 2020), implementasikan pendidikan antikorupsi, menyurati Presiden terkait rekomendasi kajian BPJS Kesehatan mengingat sejumlah rekomendasi perbaikan belum dijalankan oleh pemerintah serta mendorong kepatuhan PN dan pegawai negeri untuk melaporkan penerimaan gratifikasi yang dilarang.
Pada periode 1 Januari – 25 Januari KPK telah menyetorkan ke kas negara penerimaan gratifikasi atas 379 SK laporan gratifikasi yang ditetapkan sebagai milik negara yaitu senilai Rp882.920.667; 7.587,44 dolar AS; 951,77 dolar Singapura; 5.140 yen dan barang senilai Rp65.639.340.
Jadi apakah KPK dapat memperbaiki rapor merah pada semester selanjutnya? Hal itu tergantung keseriusan pimpinan dan seluruh insan KPK untuk memperbaiki kinerjanya di mata publik.
Berdekatan dengan momen pembagian rapor kenaikan kelas para pelajar di sejumlah sekolah, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) juga memberikan rapor kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk kinerja Desember 2019 hingga Mei 2020.
Namun kali ini bukan rapor ketuntasan belajar yang diberikan, namun "rapor merah" yang disampaikan ICW dan TII kepada lembaga penegak hukum yang diketuai Firli Bahuri ini.
Apa sebabnya?
Dalam diskusi virtual berjudul "Seminar Nasional Peluncuran Hasil Pemantauan Kinerja KPK Semester I (Desember 2019-Juni 2020) pada Kamis (25/6), dua orang peneliti, yaitu Kurnia Ramadhana mewakili ICW dan Alvin Nicola dari TII mengungkapkan analisis yang meliputi tiga bagian besar di KPK, yaitu kinerja sektor penindakan, kinerja sektor pencegahan, kinerja internal organisasi dengan total 22 masalah.
Menurut Kurnia, saat ini KPK memasuki masa yang paling suram yang dimulai dari proses pemilihan KPK yang sarat kepentingan politik hingga revisi UU KPK, sehingga proses tata kelola organisasi pun bermasalah dan berdampak pada kinerja sektor penindakan dan pencegahan KPK.
Sektor penindakan
Masalah pertama yang diangkat adalah merosotnya jumlah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK, yaitu hanya dua kali OTT dalam kasus dugaan suap pergantian antar waktu anggota DPR RI dan dugaan suap proyek infrastruktur di Sidoarjo.
Kurnia membandingkan pada 2016, dimana enam bulan pertama dari 1 Januari sampai 15 Juni 2016 ada 8 tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK, pada 2017 ada lima tangkap tangan, pada 2018 ada 13 ini yang paling tinggi, pada 2019 ada tujuh OTT.
Dari dua OTT dan perkara kasus dugaan korupsi lain yang ditangani KPK periode ini, ICW menyebut justru memicu masalah kedua, yakni menghasilkan banyak lima orang buron: kader PDIP Harun Masiku, mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiono, tersangka dugaan suap dan gratifikasi terkait penangan perkaraa Hiendra Soenjoto serta tersangka suap pernjanjian Karya Samin Tan.
Dua orang, yaitu Nurhadi dan Rezky berhasil ditangkap namun tiga orang lain masih buron. Artinya hal itu menambah jumlah tersangka yang masih buron di KPK, yaitu Sjamsul Nursalim, Itjih Nursalim dan Izil Azhar.
Persoalan ketiga, KPK selama 6 bulan dianggap tidak pernah menyentuh perkara-perkara besar yang selama ini menjadi tunggakan. Menurut catatan ICW ada 16 tunggakan perkara besar dengan dugaan kerugian negara triliunan rupiah.
Masalah keempat, pada pekan ketiga Mei 2020, KPK dikabarkan melakukan OTT di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tapi KPK malah melimpahkan perkara tersebut ke Polri karena tidak ditemukan unsur penyelenggara negara padahal sejak awal KPK menyebut rektor Universitas Negeri Jakarta terlibat.
Persoalan kelima, sengkarut penanganan perkara dugaan suap pergantian antar waktu anggota DPR yang melibatkan mantan komisioner KPU Wahyu Setaiwan dan kader PDIP Harun Masiku yang dinilai terkait kepentingan politik karena KPK gagal meringkus Harun dan tidak menggeledah kantor DPP PDIP.
Pesoalan keenam, KPK dinilai abai dalam perlindungan saksi dalam kasus dugaan penerimaan suap di lingkungan Kemenpora. Pasca bersaksi di sidang mengenai pemberian uang ke oknum BPK dan Kejaksaan Agung, mantan asisten pribadi Menpora Imam Nahrawi, Miftahul Ulum malah dipanggil Kejaksaan Agung untuk perkara serupa.
Sektor pencegahan
Dengan lemahnya kerja sektor penindakan KPK, berdampak pula menurunnya antisiasme terhadap gerakan antikorupsi dan minimnya tingkat kepatuhan sesama penegak hukum, kementerian, lembaga dan pemerintah daerah terhadap rekomendasi KPK.
Masalah ketujuh adalah program koordinasi dan supervisi dengan aparat penegak hukum serta pemerintah daerah tidak optimal melalui sistem Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) "online".
Namun, kata Kurnia, pertukaran informasi SPDP ini kerap kali sulit dipantau. Hingga saat ini, portal statistik SPDP Polri dan Kejaksaan Agung di laman KPK merupakan sumber utama bagi publik untuk mengakses informasi terkait SPDP perkara tindak pidana korupsi.
Sayangnya informasi aktual terkait informasi pertukaran SPDP tersebut berhenti diperbaharui pada bulan September tahun 2019, ungkapnya.
Pemerintah daerah yang memiliki porsi program pencegahan korupsi yang cukup banyak juga belum efektif. Minimnya efektivitas implementasi dapat dilihat dari rendahnya tingkat pencapaian Rencana Aksi Koordinasi Supervisi Pencegahan (Renaksi Korsupgah) Nasional hanya sebesar 69 persen pada 8 area intervensi
di 542 entitas pemerintah daerah.
Masalah kedelapan, minimnya strategi baru dalam pencegahan kerugian negara. Pimpinan KPK jilid V ini menggunakan strategi yang langsung berfokus untuk mengejar kenaikan pendapatan asli daerah (PAD).
Padahal alih-alih mengejar kenaikan, saat ini Pemerintah Daerah belum mampu memastikan arus setoran pajak daerah berjalan lancar. Salah satunya dapat dilihat dari buruknya tata kelola dan ketersediaan basis data pajak daerah, serta penagihan aktif atas piutang pajak daerah. Pun perbaikan tata kelola manajemen aset pemerintah daerah juga belum maksimal yaitu 69 persen.
"Kami melihat ada dua hal penting dua hal terkait pemulihan aset daerah dan minimnya penggunaan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagai upaya pengembalian kerugaian keuangan negara. Kami apresiasi sudah sebesar Rp63,9 triliun dalam program pencegahan korupsi yang dilakukan pimpinan KPK sebelumnya. Sayangnya, belum ada peta jalan spesifik optimalisasi hal ini," kata peneliti TII Alvin Nicola
Persoalan kesembilan9, program pencegahan korupsi di sektor strategis stagnan karena tidak tampak jelas peta jalan KPK di sektor bisnis, politik, hukum dan pelayanan publik.
Menurut Alvin, seharusnya korupsi sektor politik menjadi prioritas karena ini merupakan akar korupsi. Banyak studi dan riset mengindikasikan pentingnya untuk masuk ke sektor ini, apabila tidak berani dan tidak merumuskan strategi apapun di sektor politik, pencegahan korupsi dalam strategi apapun mungkin akan menemui jalan buntu.
Pesoalan ke-10, strategi nasional pencegahan korupsi (Stranas PK) belum efektif, tindakan Stranas-PK cenderung teknis dan birokratis sehingga proses keterlibatan publik itu minim.
Stranas PK itu menurut Alvin cenderung menghindari persoalan sulit misalnya korupsi sektor politik. Sebetulnya KPK sudah panduan integritas parpol namun seperrtinya upaya sosialisasi dan pemantauannya belum berjalan optimal.
Kinerja internal
Masalah selanjutnya adalah terkait dengan sejumlah kinerja internal organisasi yaitu persoalan ke-11 terkait pengembalian paksa penyidik ke instansi asal.
Penyidik Rossa Purbo Bekti dikembalikan ke instansi Kepolisian pada Januari, padahal saat itu Rossa sedang menangani perkara Wahyu Setiawan dan Harun Masiku.
Publik menduga bahwa pengembalian Rossa ini tak bisa dilepaskan dari kejadian di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian saat ia sedang mencari Harun Masiku dan oknum yang berasal dari partai politik.
Persoalan ke-12, sesat pikir publikasi penghentian penyelidikan. Pada pekan ketiga Januari 2020, KPK mempublikasikan penghentian 36 kasus korupsi di tingkat penyelidikan yang menunjukkan penindakan KPK semakin tumpul.
Persoalan ke-13, tertutupnya akses informasi kepada publik, yaitu penutupan informasi soal dugaan penyekapan tim KPK saat mencari keberadaan Harun Masiku dan oknum partai politik di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Persoalan ke-14, upaya intervensi pemanggilan saksi karena pada akhir Januari 2020 pimpinan KPK menyoroti siapa saja yang dipanggil sebagai saksi, daftar pernyataan penyidik, waktu pemeriksaan, sampai pada sanksi sosial yang diterima oleh saksi ketika memenuhi panggilan lembaga anti rasuah ini.
Masalah ke-15, pimpinan KPK dianggap kental dengan gimik politik.
"Sejak Firli Bahuri dilantik sebagai Ketua KPK acap kali tindakan yang bersangkutan tidak lagi terlihat sebagai pimpinan lembaga penegak hukum, akan tetapi justru mengarah seperti layaknya politisi. Misalnya, saat KPK sedang disorot tajam oleh masyarakat karena ketidakmampuan meringkus buronan, yang justru dilakukan oleh Firli Bahuri malah mengundang media untuk menunjukkan kemahirannya memasak nasi goreng," kata Kurnia.
Intensitas pertemuan antara Pimpinan KPK dengan sejumlah pejabat publik. ICW mencatat sejak Januari hingga Februari tahu ini para Pimpinan KPK diketahui telah mengunjungi 17 kantor instansi negara, 3 diantaranya bertemu dengan anggota DPR RI. Kondisi ini semakin menggambarkan nilai independensi KPK yang semakin luntur.
Masalah ke-16, pemberian perlakuan khusus kepada tersangka mantan Sekretaris MA Nurhadi, dimana pimpinan KPK Nurul Ghufron mempercepat waktu keberadaan Nurhadi dalam konferensi pers dengan alasan akan dilakukan pemeriksaan lanjutan. Padahal Nurhadi justru masih berada di ruangan yang sama dan tidak ada pemeriksaan lanjutan.
Masalah ke-17, kebijakan memperlihatkan tersangka saat menggelar konferensi pers. Menurut Kurnia, dalih pimpinan KPK adalah agar para pelaku korupsi dapat merasakan efek jera. Namun, kebiasaan itu tidak lazim terjadi di lembaga anti rasuah itu. Bahkan, KPK seperti hanya ingin meniru lembaga penegak hukum lain, seperti kepolisian dan kejaksaan.
Masalah ke-18, tertutupnya seleksi internal pejabat KPK dan tidak membuka ruang partisipasi masyarakat terhadap seleksi jabatan yang sedang dilakukan serta tidak mengedepankan aspek integritas.
Masalah ke-19, tafsir keliru peradilan in absentia oleh pimpinan KPK Nurul Ghufron yang mengusulkan penyelesaikan kasus Harun Masiku dilakukan dengan cara "in absentia" padahal hal itu hanya dimungkinkan ketika terkait langsung dengan kerugian negara padahal perkara yang menjerat Harun adalah tindak pidana suap.
Masalah ke-20, pimpinan KPK absen dalam merespon isu konflik kepentingan di tubuh pemerintahan yaitu terkait kerja staf khusus milenial Presiden Jokowi.
Masalah ke-21, transisi status kepegawaian KPK yang menajdi Aparatur Sipil Negara (ASN) berjalan di tempat.
"Koalisi masyarakat sipil sejak awal meragukan independensi pegawai KPK dapat terjaga bila status para pegawai KPK beralih menjadi ASN. Pasalnya, dengan status ASN dapat membuat pegawai dipindahtugaskan ke instansi lain. Hal ini berimplikasi pada potensi mandeknya proses penegakan hukum di KPK," ungkap Alvin.
Padahal jika dilihat dari situasi Komisi Antikorupsi di berbagai negara, ada tren positif untuk memberikan jaminan independensi kepada pegawai komisi antikorupsi tersebut. Contohnya Selandia Baru, Denmark, Finlandia, Swiss, Swedia, Singapura, Norwegia, Belanda, Luxembourg dan Jerman yaitu 10 negara teratas dalam Indeks Persepsi Korupsi (2019) mempunyai sebuah badan antikorupsi yang independen.
Masalah ke-22, tidak terpenuhinya ekspektasi publik terhadap kinerja Dewan Pengawas.
Sampai saat ini, Dewan Pengawas dianggap tidak melakukan pergerakan sama sekali.
"TII dan ICW hingga saat ini tetap memandang bahwa kehadiran organ Dewan Pengawas di dalam KPK kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Dibentuknya Dewan Pengawas tetap dipandang sebagai menjadi alat kontrol Presiden terhadap KPK," kata Alvin.
Kewenangan yang dimiliki Dewan Pengawas rawan untuk dipersoalkan di masa mendatang. Hal ini menyoal Pasal 37B ayat (1) huruf b UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang revisi UU KPK yang menyebutkan bahwa salah satu tugas dari Dewan Pengawas adalah memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan atau penyitaan.
Ketentuan itu dinilai keliru, sebab, Dewan Pengawas sendiri tidak dikenal dalam sistem peradilan pidana sehingga tidak memungkinkan memiliki otoritas untuk memberikan atau tidak memberikan izin tindakan pro justicia. Lembaga yang berwenang atas kewenangan tersebut hanya pengadilan.
ICW dan TII pun merekomendasikan KPK untuk membenahi 22 masalah tersebut. Di sektor penindakan adalah dengan memastikan adanya objektivitas dan independen saat mengusut sebuah perkara.
Di sektor pencegahan pun perlu dipikirkan ulang serta juga mereformulasikan strategi pencegahan yang selama ini ada di KPK. Sedangkan pada bagian tata kelola organisasi, sebaiknya pimpinan KPK untuk meminimalisir gimik politis dan mengedepankan nilai transparansi dan akuntabilitas dalam mengeluarkan sebuah kebijakan.
Tanggapan KPK
Atas lontaran rapor merah itu, KPK mengaku terbuka untuk mengundang TII dan ICW untuk membahas kinerja KPK.
"KPK menghargai inisiatif masyarakat untuk mengawasi kinerja kami, tentu nanti kami akan pelajari kajian tersebut. Kapan perlu jika dibutuhkan TII dan ICW kami undang untuk paparan di KPK," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri.
Ali Fikri pun menyampaikan sejumlah data tentang kinerja KPK di semester I Tahun 2020.
Pertama, di bidang penindakan setidaknya ada 30 surat perintah penyidikan dengan total 36 tersangka.
Penyidikan-penyidikan itu untuk kasus dalam kasus (1) OTT KPU, (2) OTT Siduarjo, (3) pengembangan suap ke Anggota DPRD Sumut, (4) pengembangan suap ke Anggota DPRD Muara Enim, (5) pengembangan kasus proyek pengadaan jalan di Bengkalis dan (6) kasus dugaan TPK di PT Dirgantara Indonesia (DI).
Selanjutnya masih ada juga sejumlah kasus dengan kerugian keuangan negara ratusan miliar yaitu kasus dugaan korupsi di Bengkalis dengan nilai proyek Rp2,5 triliun dengan dugaan kerugian keuangan negara Rp475 miliar dan kasus dugaan korupsi PT DI dengan dugaan kerugian negara sebesar Rp205,3 miliar dan 8,65 juta dolar AS.
Kedeputian penindakan KPK juga sudah melakukan penangkapan dan penahanan terhadap 2 orang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) kasus suap dan gratifikasi di MA, yaitu Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono serta 2 orang tersangka dalam kasus suap proyek di Muara Enim yaitu Ketua DPRD Muara Enim, Aries HB dan Pelaksana Tugas Kepala Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim, Ramlan Suryadi.
Selama semester I ini juga telah dilakukan penahanan terhadap 27 orang tersangka. Total jumlah pemulihan aset yang disetor ke kas negara dari denda, uang pengganti dan rampasan adalah Rp63.068.521.381
Selanjutnya di bidang pencegahan, KPK sudah melakukan pencegahan Korupsi di sektor strategis yaitu pertama, pemantauan dana Covid-19.
"Kami sudah berkoordinasi dengan Gugus Tugas Pusat dan Daerah, serta pemangku kepentingan lainnya seperti LKPP, BPKP, Kemendagri, Kemenkes, Kemensos, Pemerintah Daerah dan lainnya," kata Ali.
KPK juga telah melakukan analisis dan memberikan rekomendasi terkait permasalahan sistemik yang dihadapi terkait pengadaan barang dan jasa COVID-19 dan melakukan analisis terkait realokasikegiatan yang dilakukan K/L dan pemda serta memberikan rekomendasi perbaikan.
Kegiatan lain adalah melakukan kajian-kajian sistem terkait Covid-19 seperti kajian Kartu Prakerja.
KPK menerbitkan Surat Edaran sebagai panduan terkait penggunaan anggaran PBJ dalam penanganan Covid-19, penyaluran mansos, dan pengelolaan bantuan/hibah dari masyarakat sertaenyediakan kanal pengaduan bansos (Jaga Bansos).
Program pencegahan lain adalah koordinasi supervisi pencegahan terintegrasi yang bekerja sama kepada Kejaksaan RI, kementerian dan lembaga serta BUMN di pusat.
Ditambah lagi KPK KPK terus mendorong kepatuhan LHKPN hingga 92,81 persen (per 1 Mei 2020), implementasikan pendidikan antikorupsi, menyurati Presiden terkait rekomendasi kajian BPJS Kesehatan mengingat sejumlah rekomendasi perbaikan belum dijalankan oleh pemerintah serta mendorong kepatuhan PN dan pegawai negeri untuk melaporkan penerimaan gratifikasi yang dilarang.
Pada periode 1 Januari – 25 Januari KPK telah menyetorkan ke kas negara penerimaan gratifikasi atas 379 SK laporan gratifikasi yang ditetapkan sebagai milik negara yaitu senilai Rp882.920.667; 7.587,44 dolar AS; 951,77 dolar Singapura; 5.140 yen dan barang senilai Rp65.639.340.
Jadi apakah KPK dapat memperbaiki rapor merah pada semester selanjutnya? Hal itu tergantung keseriusan pimpinan dan seluruh insan KPK untuk memperbaiki kinerjanya di mata publik.