Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendorong perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit di Provinsi Papua Barat sehingga mampu menutup peluang terjadinya korupsi.
"KPK berharap perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit bisa dilakukan sehingga mampu menutup peluang terjadinya korupsi, bisa mengoptimalkan potensi penerimaan pajak, mengefektifkan penegakan hukum di bidang sumber daya alam, dan menjaga kelestarian hutan," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
KPK, lanjut Ipi, akan menyampaikan rekomendasi hasil evaluasi perkebunan kelapa sawit di Provinsi Papua Barat.
Rekomendasi tersebut dihasilkan setelah KPK bersama sebelas lembaga terkait, baik di pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi melakukan berbagai kegiatan mulai dari sosialisasi, pelatihan, klarifikasi, penilaian usaha perkebunan, pengecekan lapangan, dan pertemuan dengan pemangku kepentingan terkait.
Sebelas lembaga yang melakukan evaluasi bersama KPK adalah Dinas TPHBun Provinsi Papua Barat, Dinas Perkebunan tingkat Kabupaten, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kantor Wilayah Pajak, Dinas PUPR Provinsi Papua Barat, Dinas ATR/BPN Provinsi Papua Barat.
Selanjutnya, Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat, Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Provinsi Papua Barat, Dinas Penanaman Modal dan PTSP Provinsi Papua Barat, dan BPKH Provinsi Papua Barat.
"Evaluasi perizinan kelapa sawit ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari penandatanganan Deklarasi Penyelamatan Sumber Daya Alam di Tanah Papua tanggal 20 September 2018. Hal ini sejalan dengan amanat Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktifitas Perkebunan Kelapa Sawit," ucap Ipi.
Tujuan dari evaluasi perizinan kelapa sawit itu untuk perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit sebagai satu upaya pencegahan korupsi, mendorong penerimaan negara dari sektor kelapa sawit, dan menyelamatkan hutan yang tersisa di tanah Papua.
"Hingga Januari 2021, tim evaluasi telah mengevaluasi 10 perusahaan. Sebanyak delapan diantaranya sudah dilakukan pengecekan lapangan. Data dan informasi masing-masing perusahaan telah 100 persen terkumpul dan sedang disusun berkas final oleh tim evaluasi perizinan. Selain melakukan evaluasi izin perkebunan, tim evaluasi juga melakukan analisis peraturan kebijakan," tuturnya.
Tim Evaluasi, kata dia, juga menemukan bahwa ekspansi industri kelapa sawit membawa persoalan tersendiri ke tanah Papua.
"Beberapa masalah yang menjadi temuan tim evaluasi adalah pelanggaran berbagai perizinan, praktik deforestasi hutan alam dan lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit, pembukaan lahan dengan cara bakar, tidak tersalurkannya pemerataan ekonomi kepada masyarakat sekitar areal konsesi, konflik tenurial serta persoalan yang muncul terkait kewajiban pembangunan kebun plasma," ungkap Ipi.
Ia mengatakan persoalan tersebut perlu diselesaikan secara cepat dan strategis, mengingat hutan di tanah Papua merupakan benteng terakhir hutan hujan tropis di Indonesia.
KPK mencatat Provinsi Papua Barat memiliki wilayah konsesi perkebunan kelapa sawit seluas 576.090,84 hektare yang terdiri dari 24 perusahaan.
Dari jumlah tersebut, hanya 11 perusahaan yang telah memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dan/atau melakukan penanaman. Dari total luas wilayah konsesi perkebunan kelapa sawit di Provinsi Papua Barat tersebut, 383.431,05 hektare diantaranya masih berupa hutan.
"Untuk mengatasi persoalan ini, tim evaluasi tengah menyusun rekomendasi yang akan disampaikan kepada gubernur, bupati, dan pemerintah pusat. Rekomendasi tersebut diharapkan tak berhenti di pemerintah provinsi saja tetapi juga ditindaklanjuti sampai ke perbaikan pengelolaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi masyarakat lokal," ujar Ipi.