Timika (Antara Papua) - Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Litbang) Provinsi Papua melakukan kajian terhadap beban biaya sosial di lima kabupaten yang ada di lima wilayah adat di Provinsi Papua.
Kabid Pemerintahan Litbang Provinsi Papua, Karsudi di Timika, Jumat mengatakan kajian tersebut dilakukan di lima kabupaten antara lain di Kabupaten Sarmi (Mamta), Jayawijaya (Lapago), Mimika (Meepago) dan Merauke (Anim ha) dan Kabupaten Biak Numfor (Saireri) menyusul adanya temuan KPK dan BPK tentang biaya sosial di Kabupaten dan Kota dengan jumlah yang besar selama lima tahun terakhir.
"Informasi yang kami kumpulkan dari kabupaten-kabupaten tersebut akan kami bawa menjadi satu seminar tingkat provinsi Papua yang akan menjadi satu kebijakan untuk pengelolahan biaya sosial," kata Karsudi ketika melakukan FGD bersama dengan sejumlah pemangku kepentingan di Timika.
"Jadi ini mandat dari KPK RI karena melihat dari struktur anggaran di Pemprov Papua, dan Kabupaten serta Kota biaya sosialnya tinggi dan dinilai sangat menggangu struktur anggaran dalam APBD yang seharusnya diperuntukan untuk menunjang program-program prioritas seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan pembangunan ekonomi kerakyatan," ujarnya.
Banyak anggaran yang kemudian diakomodir dalam biaya sosial dan cenderung belum diakomodir dalam APBD. Dengan itu kebanyakan Bupati melakukan kebijakan deskresi yaitu kebijakan yang belum dianggarkan dalam APBD dan harus diberikan kepada masyarakat guna menjaga stabilitas keamanan dana pelayanan pemerintah di Kabupaten dan Kota sebagai perwujudan pemerintah kepada masyarakat.
Kasurdi mengatakan `output` dari kajian tersebut adalah hasil analisis biaya sosial yang terjadi akibat pelayanan masyarakat dari tingkat Provinsi sampai pada Kabupaten dan kota. Selanjutnya diharapkan dapat menghasilkan satu nilai efektif biaya sosial yang dikeluarkan.
Dengan itu maka Litbang yang bekerja sama dengan Pusat Kajian Ekonomi Universitas Cenderawasih akan merumuskan sistem dan prosedur terkait dengan bagaimana pengelolahan biaya-biaya sosial yang diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Yang terakhir kita akan tuangkan dalam Peraturan Daerah terkait dengan biaya sosial dan itu diharapkan akan dijadikan sebagai acuan bagai Pemerintahan Kabupaten dan Kota untuk mengalokasikan biaya-biaya yang disebut sebagai deskresi," ujarnya.
Kebijakan pengelolahan biaya sosial ini nantinya merupakan pengaturan yang sifatnya spesifik karena merupakan implementasi dari Otonomi Khusus karena kegiatan serupa tidak dilakukan di provinsi lain.
"Papua memandang ini penting karena sebagain besar para Bupati mendapatkan kasus korupsi karena salah menggunakan APBD karena mengambil anggaran APBD untuk mengatasi persoalan sosial di lapangan dan perlu ada pencegahan yang dituangkan dalam regulasi sebagai dasar untuk mengalokasikan anggaran untuk mengatasi permasalahannya sosial," katanya.
Ia mengharapkan agar jika hal tersebut berjalan dengan baik maka paling kurang struktur anggaran lebih efektif dalam pelaksanaanya dan biaya sosial sesuai dengan peruntukannya sehingga para Bupati akan terselamatkan dari praktek-praktek korupsi.
"Target tahun ini kita pada tingkat menghasilkan `academic paper` karena ini kami hanya diberi waktu tiga bulan dan kami targetkan pada akhir November ini sudah dihasilkan satu kajian yang komprehensif dan direncanakan akan kita rumuskan dalam Perda. Mudah-mudahan 2018 sudah bisa diterapkan," ujar Karsudi. (*)