Jayapura (ANTARA) - Daerah Otonomi Baru (DOB) atau pemekaran sebetulnya bukan hal yang baru dilakukan Pemerintah terhadap Provinsi Papua yang awalnya bernama Irian Jaya.
Awalnya Pulau Irian (sekarang Tanah Papua) hanya memiliki satu provinsi, yaitu Irian Jaya yang beribu kota Jayapura dengan sembilan kabupaten, yaitu Kabupaten Jayapura, Jayawijaya, Merauke, Serui, Biak, Nabire, Manokwari, Fakfak, dan Kabupaten Sorong.
Pemekaran atau saat ini dikenal dengan sebutan daerah otonomi baru, pertama dilakukan pada tahun 1993 berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1993. Wilayah Kabupaten Jayapura dimekarkan menjadi dua, yaitu kabupaten dan kota madya dengan nama Kabupaten Jayapura dan Kotamadya Jayapura.
Pemekaran kembali dilakukan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tertanggal 4 Oktober 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.
Dari enam wilayah baru, hanya Provinsi Irian Jaya Tengah yang tidak terbentuk hingga kini akibat kencangnya penolakan, sedangkan Papua Barat walaupun juga sempat dapat penolakan namun pembentukan provinsi ini tetap dilakukan dan berdiri hingga sekarang.
Selain itu, secara bertahap Pemerintah juga melakukan pemekaran sejumlah daerah di Papua hingga akhirnya saat ini terdapat 29 kabupaten/kota.
Banyaknya jumlah kabupaten/kota di Papua serta luasnya wilayah menjadi salah satu alasan untuk dilakukan pemekaran kembali, khususnya provinsi sehingga pelayanan lebih maksimal dan masyarakat makin sejahtera.
Percepat Pembangunan
Terkait dengan pemekaran ini, Ketua DPR RI Puan Maharani mendukung rencana pemekaran wilayah tiga provinsi baru di Papua, yaitu Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.
Penambahan provinsi di Indonesia bagian timur tidak lain untuk mempercepat pemerataan pembangunan di Papua dan untuk melayani masyarakat Papua lebih baik lagi.
Pemekaran wilayah, kata Puan, akan meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat Papua. Rancangan undang-undang (RUU) yang mengatur pemekaran tiga wilayah baru ini juga sebagai upaya untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Papua.
Hal senada juga ditegaskan anggota DPR RI asal Daerah Pemilihan (Dapil) Papua Yan Permenas Mandenas. Dengan dimekarkannya Papua menjadi beberapa provinsi, menurut dia, tingkat kesejahteraan bagi masyarakat di provinsi tertimur makin meningkat.
Banyak warga yang mendukung termasuk juga di kawasan pegunungan. Apalagi, dengan pemekaran, peluang di segala sektor makin terbuka.
Sebelumnya, masyarakat juga menolak pemekaran. Namun, karena banyak juga yang ingin, pemekaran atau yang saat ini dikenal daerah otonomi baru (DOB) tetap diberikan hingga di Papua tercatat 29 kabupaten/kota.
DPR RI sendiri sudah menerima aspirasi masyarakat di Papua yang mendukung DOB. Dukungan dari masyarakat itu, kata Mandenas yang merupakan politikus Partai Gerindra, karena menyadari pentingnya DOB guna memperpendek rentang kendali sehingga masyarakat makin sejahtera.
Penolakan Tidak Murni
Aksi penolakan DOB yang saat ini ramai dilakukan masyarakat, khususnya para pemuda, dinilai Yan Mandenas, tidaklah murni karena disinyalir aksi tersebut ada yang beri fasilitas. Pasalnya, tidak mungkin ada demonstrasi tanpa sponsor.
Oleh karena itu, pihaknya sangat berharap agar mahasiswa tidak mudah terpancing dan ikut-ikutan demo, apalagi yang merasakan manfaat DOB adalah mahasiswa atau masyarakat itu sendiri.
Jangan mudah terhasut karena penolakan terhadap DOB tidak murni. Bahkan, kata alumnus FKIP Universitas Cendrawasih (Uncen) ini, ketika masih menjadi aktivis di Universitas Cendrawasih, Abepura, Jayapura, aksi demo mahasiswa banyak yang tidak murni karena didompleng kepentingan tertentu.
Sementara itu, Bupati Yahukimo Didimus Yahuli mengajak masyarakat untuk berpikir sehat dan visioner karena beberapa daerah saat ini minta pemekaran.
Pemekaran ditolak, sementara di beberapa wilayah sedang mengurus agar daerahnya dimekarkan, seperti Yalimek, Eroma, Yahukimo Timur, Yahukimo Barat, Yahukimo Selatan, dan Yahukimo Utara, termasuk Puncak Trikora, Baliem Center, dan lainnya.
Oleh karena itu, kata Didimus, harus bijak melihat di semua sisi, apalagi bicara mewakili rakyat yang juga hidup dari hasil pemekaran.
Diakui pula bahwa saat terjadi pemekaran di pegunungan tengah dari Kabupaten Jayawijaya beberapa tokoh dihina dan dicaci maki. Namun, saat ini mereka juga yang menikmatinya.
Tanpa pemekaran orang Yahukimo tidak dapat kesempatan yang luas dalam segala aspek kehidupan, kesejahteraan, kemakmuran, keluhuran, melalui pendidikan, kesehatan, dan pembangunan sumber daya manusia (SDM) Yahukimo serta infrastruktur.
Sebaliknya, jika masih menjadi bagian dari Kabupaten Jayawijaya, menurut dia, tidak dianggap dan hanya sebagai masyarakat pelengkap sehingga itu harus direnungkan oleh semua generasi, tidak saja yang berasal dari Yahukimo, tetapi juga di Pegunungan Tengah.
Di lain pihak, Kapolresta Jayapura Kota AKBP Victor Mackbon menegaskan bahwa pihaknya tidak akan memberi izin kepada pedemo tolak DOB bila tetap ingin melakukan long march.
Bila ingin lakukan demo, semua persyaratan harus dipenuhi, termasuk penanggung jawab dan tidak lakukan long march. Polisi berjanji akan membantu memfasilitasi dengan menyiapkan kendaraan.
Insiden 2019 tampaknya menjadi pembelajaran bagi semua pihak karena kejadian yang berawal dari long march mengakibatkan kerugian yang besar. Apalagi, hingga saat ini tidak ada satu orang pun yang menyatakan bertanggung jawab atas insiden tersebut.
Tak pelak lagi, aparat keamanan tidak akan memberikan izin. Dalam hal ini pihak keamanan berupaya melindungi masyarakat lainnya.
Oleh sebab itu, ditekankan pula oleh AKBP Victor Mackbonbahwa, bila mereka ingin demo, ikuti peraturan dan ketentuan yang berlaku. Pedemo diangkut dengan kendaraan ke tempat tujuan demo.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Perjalanan DOB dan harapan bagi masyarakat di Tanah Papua