Jakarta (ANTARA) - Menjalani hidup saat ini tak lagi sama dengan dua tahun lalu, kala pandemi COVID-19 belum melanda dunia. Anda perlu memakai masker, menjaga jarak hingga sebisa mungkin mengurangi mobilitas agar tak terkena penyakit akibat virus SARS-CoV-2 itu.
Penyesuaian atau pembatasan kegiatan masyarakat atau dikenal dengan sebutan seperti PSBB dan PPKM pun menjadi salah satu upaya yang ditempuh pemerintah karena dinilai mampu menurunkan kasus baru harian COVID-19.
Data dari Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 pada 22 Agustus lalu misalnya, menunjukkan angka kasus COVID-19 mingguan turun menjadi 125.102 dari 188.323 kasus pada pekan sebelumnya.
Ketua Tim Pakar Satgas Penanganan COVID-19, Prof. Wiku Adisasmito mengatakan, angka kepositifan atau positivity rate pada 16-22 Agustus 2021 turun dari 30,54 persen pada pertengahan Juli lalu menjadi 18,15 persen.
Sebagian orang juga sudah terbiasa dengan istilah penyesuaian kegiatan masyarakat ini dan tak dipungkiri akan menjadikannya sebagai bagian gaya hidup. Hal ini seperti yang dikatakan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Tjandra Yoga Aditama.
"Memang nampaknya setidaknya sebagian dari pembatasan sosial akan jadi bagian dari gaya hidup, mulai dari yang sederhana mencuci tangan dan memakai masker," kata dia kepada ANTARA beberapa waktu lalu.
Apalagi, berbagai penelitian sudah menunjukkan manfaat penerapan protokol kesesehatan (prokes). Memakai masker ganda dengan masker medis sebagai lapis pertama lalu dilapisi dengan masker kain, misalnya, terbukti lebih efektif meningkatkan efektivitas masker untuk melindungi diri dari COVID-19. Menurut studi, penggunaan masker dengan cara ini mampu menyaring partikel batuk yang dikeluarkan oleh seseorang hingga 85,4 persen.
Sementara, terkait protokol kesehatan lain seperti berkerumun, diketahui berhubungan dengan risiko amplifikasi transmisi SARS-CoV-2. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, hal ini karena kemungkinan kepadatan dan mobilitas peserta yang tinggi memungkinkan seringnya interaksi langsung antara orang-orang.
Oleh karena itu, menurut Tjandra yang pernah menjabat sebagai Direktur WHO Asia Tenggara dan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes itu, pembatasan sosial termasuk salah satu dari tiga program utama berbagai negara untuk dapat mengendalikan kasus COVID-19. Dia mengatakan, selain dari penerapan protokol kesehatan yang dilakukan masyarakat, pemerintah perlu konsisten dalam kebijakan pembatasan sosial itu.
PPKM bukan kehilangan peluang bersosialisasi
Penyesuaian kegiatan masyarakat tak berarti membuat Anda kehilangan peluang bisa berhubungan secara tatap muka dengan orang lain termasuk sosok-sosok tersayang di sekitar Anda.
Manusia terlahir sebagai makhluk sosial, yang perlu berinteraksi dengan orang lain. Tetapi di masa pandemi saat ini, terkadang kesempatan untuk bertemu tatap muka nyaris berkurang.
Di sinilah, Anda perlu beradaptasi dengan kondisi, termasuk menerapkan protokol kesehatan selama berinteraksi, menurut psikolog klinis dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Nirmala Ika, M.Psi.
Anda masih bisa bertemu langsung dengan mereka, namun tak bisa sesering dulu. Bersikap bijak salah satunya mempertimbangkan urgensi dan situasi juga menjadi penting.
"Yang bisa kita lakukan mengurangi, jadi belajar beradaptasi misalnya yang tadinya harus bertemu orang setiap hari sekarang jadi tidak usah. Beberapa orang sudah melakukan itu," tutur dia.
Di sisi lain, sebenarnya Anda masih bisa memanfaatkan teknologi misalnya melakukan percakapan suara dan video melalui sejumlah platform seperti WhatsApp Call, Zoom, Google Meet dan lainnya.
Tetapi, cara ini tidak bisa memberi semua orang kualitas yang sama seperti beinteraksi tatap muka, seperti yang diungkapkan Umi Fadhila (30). Perempuan asal Purworejo Jawa Tengah itu mengatakan berkomunikasi via teknologi tak bisa menggantikan keintiman seperti saat bertemu langsung.
“Ada gairah buat ‘tampil’ saat mau ketemu teman secara langsung. Tapi Zoom atau vcall mau enggak mau jadi pilihan paling rasional buat komunikasi sekarang. Butuh lebih terbiasa lagi mungkin ya,” ungkap dia.
Berkaca dari hal ini, menurut Ika, ada berbagai aspek hal yang sebenarnya tak dapat tergantikan dengan teknologi, salah satunya membaca bahasa tubuh lawan bicara. Bagi sebagian orang, bisa membaca bahasa tubuh lawan bicara membuatnya bisa merespon lebih baik.
Di sisi lain, interaksi tatap muka apalagi di sebuah tempat yang menyenangkan dapat mempengaruhi kondisi psikologis Anda. Latar tempat berbeda misalnya dari semula di kantor, menjadi kafe favorit sembari bertemu teman bisa membuat perbedaan pada suasana hati Anda.
"Sedangkan kalau online enggak bisa. Misalkan kita di Zoom meeting sama bos, keselnya minta ampun. Ketemu teman di Zoom juga, di meja yang sama. Itu mempengaruhi ke kondisi psikologis kita,”kata Ika yang aktif sebagai associate di Yayasan Pulih dan berpraktik di RS Pluit Jakarta Utara serta Psycoach Integra Cikini itu.
Ika memahami sebagian orang berpendapat, perubahan itu menakutkan dan memilih berada kondisi yang familiar dengannya.
Dalam menggunakan masker saja misalnya, tak serta merta bisa langsung diterima semua orang. Ada yang merasa sesak sehingga enggan mengenakanya. Hal ini bahkan dialami Ika sendiri.
Tetapi, kemauan belajar dan melatih diri menerima masker sebagai bagian dari hidup termasuk belajar mengatur napas bisa membantu. Kini Ika bisa secara nyaman mengenakan masker ganda sembari melakukan konseling dengan pasiennya.
"Adaptasi adalah proses belajar. Kadang orang suka malas menghadapi itu karena merasa jadi ribet, tidak bisa bernapas. Kita mau tetap tidak peduli dalam arti yang penting nyamannya kita atau kenyamanan bersama," tutur dia.
Tetapi sekali lagi, Anda kini berada dalam kondisi yang menutut untuk beradaptasi termasuk untuk urusan berinteraksi dengan orang lain. Adaptasi ini membutuhkan waktu dan dalam prosesnya bergantung pada kemauan masing-masing dari diri Anda sendiri.