Jakarta (ANTARA) - Selama ini, organisasi sosial kemanusiaan untuk korban perang, konflik dan bencana alam yang bergerak dalam bidang kegawatdaruratan kesehatan "Medical Emergency Rescue Committee" (MER-C) Indonesia dalam kinerja-kinerjanya lebih identik dengan persoalan bantuan kesehatan.
Baik misi di Tanah Air maupun mancanegara, khususnya di wilayah konflik maupun bencana alam, peran-peran medis lebih fokus.
Namun, di dalam kinerja kesehatan itu, adalah keniscayaan di dalamnya unsur kemanusiaan sebagai hal yang tidak bisa dipisahkan.
Karena itu, di pengujung mendekati akhir Tahun 2021, MER-C menggagas program "Safari Kemanusiaan", khususnya terkait Palestina, yakni bersilaturahim dengan tokoh lintas agama di Tanah Air.
Ketua Presidium MER-C dr Sarbini Abdul Murad mengemukakan bahwa safari kemanusiaan yang pertama bertemu dan berdiskusi dengan tokoh agama Katolik senior Indonesia Romo Prof Franz Magnis Suseno, SJ, di Jakarta pada Jumat (29/10).
Setelah itu, nanti dilanjutkan dengan tokoh agama lainnya, seperti dari agama Hindu, Buddha, Protestan dan lainnya, serta tokoh yang selama ini tidak atau belum pernah bicara tentang Palestina.
Dokter Ben, panggilan karib Sarbini Abdul Murad, putra kelahiran Aceh ini, mengemukakan bahwa para tokoh lintas iman itu akan diajak untuk berbicara tentang Palestina dalam sesi kemanusiaannya.
Pada Ahad (7/11), ia bersama delegasi MER-C juga bertemu Dr Yon Machmudi, Ketua Program Studi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam - Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) di Depok, Jawa Barat.
Langkah MER-C seperti itu sejatinya sudah dilakukan sejak lama, dengan tujuan untuk mempersatukan bahwa persoalan Palestina bukan hanya masalah umat Islam, namun semua agama mempunyai kepentingan karena sisi kemanusiaannya.
Pada tahun lalu, tepatnya Rabu (15/1/2020), ia berdiskusi dengan pimpinan umat Katolik Indonesia, Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo, saat keduanya bertemu di Keuskupan Agung Jakarta.
Dalam diskusi itu dibahas isu utama masalah Palestina sebagai negara di dunia yang masih terjajah dan belum merdeka.
Mengapa Palestina? Ia menjawab, karena Palestina adalah konflik kolonialisme dan bukan konflik agama.
Secara khusus, ia berterima kasih karena dapat bertemu dengan Kardinal Ignatius Suharyo untuk bersama-sama memikirkan nasib Palestina dan mendiskusikan apa yang bisa dilakukan untuk Palestina agar dapat mencapai kemerdekaannya.
Sepakat
Dari diskusi dengan tokoh agama itu pihaknya menyepakati bahwa persoalan Palestina memang bukan persoalan agama semata.
Romo Magnis dalam diskusi itu menyatakan bahwa Palestina itu bukan masalah Islam saja, karena orang Kristen di sana, ada Katolik, Ortodoks, semua orang Arab, di mana semua itu penduduk Palestina dan mereka sama.
Romo Magnis yang merupakan Guru Besar Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta itu menilai pemahaman itu penting sekali. Ia memahami kalau selama ini dari kalangan Islam yang sangat kuat mendukungnya.
Romo Magnis menekankan bahwa meskipun Palestina bukan hanya masalah Islam, tapi dalam kenyataannya kebaradaan Islam menjadi penting di negara itu.
Ia menyatakan lebih suka kalau Islam arus utama di Indonesia yang moderat, yang pro-NKRI membicarakan itu secara berani, karena satu-satunya yang dulu berani melakukan itu adalah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Namun diakui bahwa situasi di Palestina pada umumnya tidak mudah, karena masalahnya adalah konflik politis kemanusiaan dan etis.
Karenanya, membantu orang-orang Palestina sangat terpuji karena mereka mengalami keterjajahan yang sangat serius.
Bantuan dalam bentuk rumah sakit, seperti yang sudah dilakukan MER-C dengan adanya Rumah Sakit Indonesia (RSI), sangat didukung oleh Romo Magnis dan menyebutnya sebagai "sebuah langkah berani".
Disebut langkah berani karena situasi di Palestina memang tidak aman. Selalu bisa ada perang dan kena tembak oleh pasukan Israel. Karenanya ia mengaku sangat kagum dengan langkah-langkah yang dilakukan oleh MER-C.
Ia sepakat bahwa orang Palestina, baik di Tepi Barat maupun di Jalur Gaza, berhak atas kebebasan penuh dan itu berarti mempunyai negara berdaulat.
Kardinal Ignatius Suharyo pun menyampaikan bahwa sikap resmi Gereja Katolik jelas sekali untuk masalah Palestina.
Paus saat ini, menurut dia, mendukung Palestina dan Kemerdekaan Palestina, karena semua bangsa mempunyai hak untuk merdeka.
Kardinal menyampaikan bersyukur MER-C hadir dan mencerahkan serta memberikan wawasan baru kepada dirinya, sehingga mewakili Keuskupan Agung Jakarta pasti akan membawa informasi yang baru diterimanya ke dalam forum pertemuan para uskup sebagai bahan diskusi ke depan.
Diskusi dari safari kemanusiaan itu bermuara pada kesepakatan bahwa persoalan Palestina bukan hanya masalah umat Islam, namun semua agama mempunyai kepentingan karena sisi kemanusiaannya.
Simpulannya, MER-C sebagai organisasi sosial untuk kemanusiaan dan perdamaian berupaya mengajak semua tokoh agama mendukung kemerdekaan Palestina.
Pijakannya, bagi Sarbini Abdul Murad, karena itu adalah panggilan konstitusi dan "utang sejarah", di mana Palestina adalah satu-satunya peserta Konferensi Asia Afrika (KAA) Tahun 1955 yang hingga saat ini belum merdeka.
Sebagai sebuah ikhtiar bagi upaya membantu mewujudkan tercapainya kedaulatan penuh rakyat Palestina yang masih terjajah zionis Israel, sehingga mendapatkan tanahnya, agaknya safari kemanusiaan ini adalah titik lainnya yang bisa dilakukan untuk mewujudkan kemerdekaan bagi Palestina.