Laju epidemi HIV-AIDS di Provinsi Papua hingga kini belum terbendung.
Bahkan, Papua dengan penduduk hanya sekitar 3 jutaan jiwa merupakan salah satu daerah "sarang" kasus HIV-AIDS terbesar di Indonesia.
Dinas Kesehatan Provinsi Papua belum lama ini melaporkan bahwa hingga 30 September 2018 jumlah warga Papua yang terinfeksi HIV-AIDS sebanyak 38.874 orang.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Drg Aloysius Giay menyebut ada empat kabupaten dengan kasus HIV-AIDS tertinggi di Papua yaitu Nabire, Kota Jayapura, Jayawijaya dan Mimika.
Di Nabire terdapat 7.240 warga yang terinfeksi HIV-AIDS, terdiri atas 4.559 AIDS dan 2.681 HIV.
Sementara di Kota Jayapura tercatat 6.189 kasus HIV-AIDS, terdiri atas? 4.213 AIDS dan 1.979 HIV.
Adapun di Jayawijaya, kasus HIV-AIDS yang dilaporkan sebanyak 5.964 kasus, terdiri atas 4.245 AIDS dan 1.719 HIV.
Kabupaten Mimika yang sebelum-sebelumnya menduduki peringkat tertinggi jumlah kasus HIV-AIDS di Papua, kini jumlah kasusnya menurun yaitu sebanyak 5.670 kasus HIV-AIDS, terdiri atas 2.944 AIDS dan 2.726 HIV.
Kasus HIV-AIDS juga ditemukan di hampir seluruh kabupaten (termasuk di wilayah pedalaman) di Papua yang berjumlah 29 kabupaten//kota.
Hingga kini warga Papua yang meninggal akibat HIV-AIDS tercatat sebanyak 2.299 jiwa.
Kondisi mengkhawatirkan
Pegiat masalah HIV-AIDS yang juga merupakan Direktur Yayasan Peduli AIDS Timika, Pastor Bert Hogenboorn OFM, menyatakan prihatin dengan banyaknya temuan kasus HIV-AIDS di Papua.
Jika di bagian dunia yang lain, trend kasus baru HIV-AIDS cenderung menurun, namun di Papua, katanya, kecenderungan temuan kasus baru HIV-AIDS malah semakin bertambah banyak.
Di Papua temuan kasus baru HIV-AIDS bertambah banyak karena kasus-kasus yang bertahun-tahun lamanya ada tapi tidak ditemukan dan baru sekarang ini mulai dilihat oleh Dinas Kesehatan.
Kasus-kasus baru yang ditemukan itu sebetulnya sudah lama, namun selama ini instansi yang berkepentingan dengan hal ini tidak melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya.
Misionaris asal Belanda yang sudah puluhan tahun berkarya di Papua itu mengatakan HIV-AIDS masih menjadi ancaman terbesar bagi kelangsungan populasi Orang Asli Papua (OAP) jika pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan yang ada tidak tanggap dan serius untuk menangani masalah ini.
Ironisnya, dengan kemampuan anggaran yang tersedia cukup besar di Jayapura (termasuk anggaran yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus/Otsus) justru tidak digunakan secara baik untuk menangani kasus-kasus HIV-AIDS yang sudah bertumbuh subur di daerah pedalaman Papua.
"Kami sebagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) tidak pernah menerima bantuan untuk menangani masalah ini. Sementara mereka di Jayapura berfoya-foya dengan istilah studi banding. Uang yang ada harus digunakan untuk menangani epidemi, bukan untuk membiayai jalan-jalan," kritik Bert.
Penyebab bertumbuh suburnya kasus HIV-AIDS di daerah pedalaman Papua, katanya, lantaran kaum lelaki yang bepergian ke kota-kota di Papua seperti Jayapura, Timika, Nabire dan lainnya sekaligus mengunjungi pusat-pusat layanan seks (lokalisasi Wanita Pekerja Seks/WPS).
Kecenderungan melakukan hubungan seks tidak aman (tanpa menggunakan kondom) mengakibatkan virus HIV berpindah cepat dari WPS yang sudah terjangkit HIV kepada pasangannya.
Virus tersebut selanjutnya dibawa ke pedalaman Papua dan terus ditularkan kepada isteri, anak dan lainnya.
Celakanya, pusat-pusat layanan kesehatan di daerah pedalaman Papua yang memiliki peran vital melakukan sosialisasi pencegahan, screening kasus HIV-AIDS hingga pengobatan justru sebagian besar tidak aktif.
Persoalan seperti ketiadaan tenaga medis, ketersediaan obat-obatan, ketiadaan sarana dan prasarana kesehatan seperti rumah tenaga medis, sarana transportasi yang sulit dan mahal sudah menjadi masalah klasik di pedalaman Papua yang berpuluh-puluh tahun belum bisa diatasi hingga saat ini.
Upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi epidemi HIV-AIDS terutama di pedalaman Papua yaitu dengan mendorong berfungsinya layanan kesehatan sehingga melalui layanan kesehatan itu bisa memberikan penyuluhan kepada masyarakat dan memberikan pengobatan bagi mereka yang sudah HIV-AIDS positif.
Namun dalam prakteknya, Puskesmas banyak yang kosong, tidak ada petugas yang setiap saat melayani masyarakat.
Akibatnya, program apapun yang direncanakan dari atas pasti tidak akan efektif karena Puskesmas sebagai jantung utama pelayanan kesehatan tidak berfungsi.
Dibutuhkan KPA
Upaya penanggulangan kasus HIV-AIDS di semua kabupaten/kota kini dipandang mengalami sedikit masalah setelah terbitnya Peraturan Presiden Nomor 124 Tahun 2016 yang mengatur tidak ada lagi lembaga Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tingkat kabupaten/kota.
Penghapusan lembaga KPA di tingkat kabupaten/kota dipandang cukup menghambat kerja besar menangani masalah HIV/AIDS terutama di Papua lantaran lembaga KPA sesungguhnya merupakan wadah bersama untuk mengorganisasi seluruh potensi dan kekuatan dalam upaya memerangi epidemi HIV-AIDS.
Kendati di daerah lain lembaga KPA sudah dihapus, namun di Kabupaten Mimika lembaga KPA tetap dipertahankan sebagaimana instruksi Bupati Mimika, Eltinus Omaleng.
"Pak Bupati menginstruksikan lembaga KPA Mimika tetap berjalan sebagaimana mestinya. Namun demikian tahun ini kami akan melakukan restrukturisasi menyesuaikan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat Daerah," kata Sekretaris Dinas Kesehatan Mimika, Reynold Ubra.
Penurunan positif rate kasus HIV-AIDS di Mimika dari 30 persen pada periode sekitar tahun 2006-2007 menjadi 1 persen pada 2018 menunjukah bahwa upaya penanggulangan kasus HIV-AIDS di Mimika kini telah berjalan pada trek yang sebenarnya.
"Itulah gambaran kalau semua pihak terlibat dan semua orang dengan kesadarannya sendiri mau melakukan testing HIV," kata Reynold.
Sekarang ini positif rate di Mimika sudah 1 persen, kalau sekitar 10 tahun lalu sekitar 30 persen.
Namun demikian, dengan bertambahnya populasi dari remaja ke dewasa muda dan tua maka intervensi tetap harus terus dilakukan agar epidemi ini tidak naik lagi pada 10 tahun ke depan.
Menurut dia, kerja besar menanggulangi masalah HIV-AIDS di Papua, termasuk di Mimika hanya bisa berhasil jika didukung dengan kebijakan dan komitmen yang kuat dari pimpinan daerah baik melalui kebijakan politik anggaran maupun secara teknokrat oleh aparatur pemerintah.
Tantangan dalam penanganan kasus HIV-AIDS di Mimika, katanya, yaitu masih terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap Orang Dengan HIV-ADS (ODHA).
Pemkab Mimika menargetkan pada 2030 mendatang 90 persen orang yang diperiksa mengetahui kasusnya, 90 persen dari mereka yang terinfeksi dapat mengakses layanan pengobatan Anti Retroviral (ARV) dan dari mereka yang mengakses obat ARV itu harus retensi atau kadar virus HIV dalam darahnya tidak lagi terdeteksi.
"Ini pekerjaan yang sangat berat sehingga kami sangat membutuhkan kebijakan pemerintah yang kuat untuk menjaga agar masyarakat yang sudah terinfeksi HIV dan dalam masa pengobatan tetap dipertahankan agar kualitas hidupnya tumbuh kembali. Kalau 90 persen mereka yang HIV meminum obat ARV secara teratur dan virus dalam darahnya tidak lagi terdeteksi maka akan menurunkan risiko untuk menularkan kasus ke orang lain," kata Reynold.
Kebijakan politik anggaran yang kuat dalam mendukung upaya penanggulangan HIV-AIDS diikuti dengan kerja keras seluruh elemen terkait tentu diharapkan terjadi di semua daerah (provinsi, kabupaten/kota) di seluruh Tanah Papua agar epidemi HIV-AIDS tidak lagi menjadi hantu yang menakutkan bagi orang Papua.